Ekstrimisme: Wajah Bengis Sang Pangeran Demokrasi

Oleh: Bhakti Nugroho 

Alumni Pengkajian Amerika, Universitas Gadjah Mada

 

*tulisan ini ditulis seminngu setelah peristiwa kericuhan di Capitol Building, DC, Amerika Serikat, Januari Tahun 2021 

 

Beberapa hari menjelang lengsernya kekuasaan ‘authoritarian’ ala Donald Trump, perpecahan yang dulu nampak jelas di masyarakat Amerika, sekarang menjadi semakin runyam. Pihak-pihak yang berada dibelakang Donald Trump tidak terima atas kekalahan dan mulai bersikap layaknya supporter sepak bola turnamen antar-kampung. Ini bukan kali pertama hal semacam ini terjadi, di tahun 1898, puluhan lelaki kulit putih dari kelompok supremasi kulit putih, mengeroyok dan membunuh beberapa warga kulit hitam dan mengambil alih kota Wilmington. Namun, insiden yang terjadi awal tahun ini berbeda namun secara garis besar serupa. Kali ini gedung kongres AS atau U.S. Capitol yang menjadi incaran kemarahan kaum ekstrimis. Pendukung MAGA (Make America Great Again) dalam kericuhan di gedung kongres kemarin bukanlah pendukung biasa, mereka adalah veteran, tentara aktif, peraih medali emas olimpiade, guru, sampai pemadam kebakaran. Bahkan FBI memulai investigasi atas kemungkinan terlibatnya beberapa anggota Senat dan DPR. Sangat miris melihat bagaimana Partai Republik, yang dulu mendukung tokoh liberal dan abolitionist sekelas Abraham Lincoln, bisa jatuh ke kaum ekstrimis sayap kanan yang pro-supremasi kulit putih, neo-Nazi dan pengikut teori konspirasi QAnon.

Sekarang menjelang inagurasi Joe Biden sebagai presiden, Rabu (1/20) nanti, 25.000 tentara Garda Nasional mulai dikerahkan ke Washington D.C. Jumlah ini melebihi jumlah tentara AS yang saat ini bertugas di Timur Tengah. Ibu kota negara menjadi tempat yang terisolir dan diawasi ketat seperti halnya novel-novel distopia. Begitu mengkhawatirkannya gelombang ekstrimisme di AS, sampai-sampai beberapa anggota DPR dan Senat mulai saling tuding, dan ketakutan untuk datang ke U.S. Capitol. Gedung dewan dan kongres yang selama ini menjadi salah satu simbol keagungan sejarah demokrasi AS.


Melonjaknya Ekstrimisme di Amerika

Jauh sebelum Donald Trump terpilih menjadi presiden AS yang ke-45, berbagai kelompok hate-speech sudah mulai merebak. Hal ini ditandai saat munculnya nama Barrack Obama, senator kulit hitam dari Illinois, sebagai kandidat kuat presiden AS dari Partai Demokrat pertengahan tahun 2008 silam. Bagi kaum kanan yang berbasis konservatisme, terpilihnya Barrack Obama sebagai kandidat presiden dari Partai Demokrat merupakan hal yang sudah "kelewatan". Statistik mencatat bahwa dengan pencalonan Obama ini menandai bermunculannya berbagai kelompok militia/paramiliter bersenjata di AS. Mereka menyatakan diri untuk siap ‘membela’ negara dari ancaman dari dalam maupun luar negeri. Entah apa maksudnya, yang jelas, mereka mulai merasa terancam. Jumlah kelompok militia ini semakin bertambah saat pada akhirnya Barrack Obama terpilih menjadi presiden kulit hitam pertama. Tentu saja, seperti halnya tragedi Wilmington, rasisme menjadi salah satu faktor utama meningkatnya ekstrimis sayap kanan di AS.

Di satu sisi, munculah Donald Trump, sosok kontroversial yang secara terang-terangan tidak mempermasalahkan ideologi supremasi kulit putih, anti-yahudi, anti-muslim dan anti-imigran di AS. Kelompok-kelompok radikal sayap kanan pun mulai berkumpul dibelakang Trump dan menjadi salah satu basis pendukung terkuatnya saat pemilu 2016 lalu. Selain itu, Donald Trump juga nyatanya mampu menggaet beberapa kaum tengah-kanan sehingga menjamin bersatunya pendukung Partai Republik dibelakang pemerintahannya selama berkantor di oval office. Dengan kata lain, terpilihnya Donald Trump merupakan pencapaian besar dari kaum ekstrimis sayap kanan di AS yang dulunya tak diindahkan dan cenderung dimusuhi oleh pemerintahan gaya liberal Barrack Obama, maupun dari kalangan Partai Republik itu sendiri. Tak khayal, peristiwa kericuhan di gedung dewan kemarin merupakan manifestasi dari ambisi radikal untuk melanjutkan kekuasaan dari kaum ekstrimis sayap kanan di AS yang selama ini juga dipanas-panasi dan ‘dibohongi’ oleh cuitan-cuitan Donald Trump di media sosial dan televisi.

Jika ditelaah lebih dalam, peristiwa kekerasan yang menewaskan lima orang minggu kemarin merupakan peristiwa yang mengejutkan, namun sebenarnya sudah dapat diprediksi oleh beberapa pakar politik dan keamanan di AS. Apalagi setelah Trump menolak untuk mengakui hasil pemilu. Sebuah peristiwa berdarah ini secara singkat menggambarkan sepak terjang Trump sebagai politisi dan presiden AS, dimulai dari ujaran kebencian dan diakhiri dengan aktualisasi dari kebencian tersebut. Para politisi Partai Republik pun mulai menjauhi Trump, banyak menteri dan pembantu kabinet yang mundur karena takut disangkutpautkan dengan radikalisme. Namun apakah ekstrimisme sayap kanan ini akan sampai disini? Jawabannya adalah tidak.

Ekstrimisme dan Politik Amerika Paska Trump

Trump sudah pasti lengser, namun beberapa loyalisnya masih berada di kongres dan DPR, seperti anggota dewan Marjorie Taylor Greene sampai dengan senator Ted Cruz. Bukan hanya sekedar suara konservatif saja, mereka masih bisa menampung dan mewakili suara ekstrimis sayap kanan. Ditambah lagi, mereka kumungkinan besar akan selalu mengusik kebijakan-kebijakan Joe Biden dan Partai Demokrat yang sudah dipastikan menguasai kursi DPR dan Senat. Seperti halnya saat mereka menentang pengesahan hasil pemilu 2020 dan pemakzulan kedua trump paska insiden kemarin. Bahkan saat diwawancarai di kanal televisi konservatif Newsmax, anggota dewan Marjorie Taylor Greene terang-terang akan mengajukan pemakzulan Joe Biden tepat sehari setelah dia dilantik. Sebuah langkah yang menurut saya cukup tidak masuk akal dan terkesan balas dendam tak berdasar.

Selama dua bulan terakhir, saya mencoba menyusup masuk ke grup Facebook kelompok politik pro-Biden dan pro-Trump. Saya mencoba memahami sudut pandang mereka berdasarkan retorika-retorika yang mereka pakai. Di grup pro-Biden saya melihat bahwa mereka lebih rasional, namun mereka juga memiliki tendensi untuk memusuhi Trump dan para pendukungnya, yang bagi mereka, sudah menginjak-injak harga diri demokrasi AS. Di sisi lain, kubu pro-Trump sangat meledak-ledak, tidak mau menerima kekalahan dan cenderung memusuhi siapapun yang menentang mereka, bahkan jika orang itu adalah pendukung Trump atau tokoh Partai Republik itu sendiri. Tak main-main, tokoh Partai Republik seperti wakil presiden Mike Pence dan senator Lindsey Graham pun jadi sasaran amukan. Mereka sudah dilabeli sebagai traitor (pengkhianat) dalam gerakan revolusi mereka. Ratusan orang ini juga mencoba menguri-uri teori konspirasi untuk menguatkan argumentasi mereka Mereka juga mencoba mengalihkan tudingan ke ANTIFA (kelompok ekstrimis sayap kiri) sebagai biang kerok dari kekerasan di gedung dewan kemarin.

Di laman berita radikal neo-Nazi, The Daily Stormer pun menggambarkan kericuhan kemarin dengan istilah ‘awesome party’. Dari sini, nampak jika rekonsiliasi paska pemilu 2020 tidak berjalan lancar, seperti halnya yang terjadi paska Pilpres Indonesia 2019 yang lalu, namun nampaknya lebih pelik. Sekarang masyarakat AS justru semakin terpolarisasi dikarenakan banyak politisi oposisi dan para pendukung Trump (Trumpers) yang menolak untuk mengakui kekalahan.

Integritas demokrasi Amerika sudah goyah. Disintegrasi masyarakat pun juga tampak belum bisa diobati. Hal yang dulu nampak mustahil terjadi di panggung politik Amerika. Apalagi, kemungkinan besar selama empat tahun kedepan, walaupun Donald Trump sudah tidak punya platform media sosial untuk berbicara, dia akan tetap menjadi tokoh politisi sayap kanan yang penting. Dia kemungkinan besar akan tetap menyampaikan pendapat-pendapat kontroversialnya yang mendiskredit pemerintahan Biden melalui channel televisi kabel konservatif favoritnya, seperti Fox News, Newsmax, OAN News atau media televisi dan media sosial yang dirumorkan akan dia buat sendiri (setelah akun miliknya diblokir dan dicekal oleh banyak platform media sosial). Jadi bisa dikatakan jika signifikansi dari pengaruh Trump masih akan kuat. Ditambah lagi, ekstrimise di Amerika pada periode pemerintahan Trump sudah menginspirasi munculnya banyak kelompok alt-right (ekstrimist sayap kanan) di Eropa dan beberapa negara lain populasinya didominasi oleh orang kulit putih. Kasus penembakan di Masjid Christchurch, Selandia Baru tahun 2019 silam juga merupakan bentuk radikal dari extrimisme saya kanan ini. Bukan hal yang tidak mungkin jika peristiwa terorisme domestik seperti ini akan muncul dan menghantui warga minoritas di AS selama empat tahun kedepan. Ditambah lagi, kuatnya konsolidasi lintas benua kelompok alt-right di forum 8chan dan 4chan, serta longgarnya aturan kepemilikan senjata api di AS ditenggarai akan memperburuk keadaan.    

Jika ditelusuri lagi, apakah ini semata-mata salah Donald Trump? Banyak spektrum argumentasi yang akan senantiasa bermunculan. Namun, apapun jawabannya, bagi sebagian besar pendukungnya, Trump merupakan seorang ‘tragic hero’ yang akhirnya dilengserkan oleh ‘tirani politik’ yang selalu mencibir dan memusuhinya. Selama pemikiran ini masih tetap ada, sulit nampaknya melihat rekonsiliasi antara masyarakat Amerika dalam waktu dekat. Sekali lagi, ini merupakan sebuah sketsa gambar yang ironis dalam sejarah kematangan demokrasi Amerika.

Comments