Orang Desa: Sebuah Cerpen


Oleh: Bhakti Nugroho

Tepat satu minggu setelah kelulusannya, Seto mendapat sebuah pesan dari keluarga di gawainya; sebuah pesan yang cukup mengejutkan baginya mengingat pembicaraan ini tidak pernah muncul dipermukaan sebelumnya. Bahkan ketika orang tuanya datang ke wisudanya, hal ini tidak pernah dibahas. Sama sekali, namun, jujur saja, ia sudah lama meramal hal ini akan terjadi.

Ia hendak dijodohkan. Keputusan sudah dibuat di desa antara kedua belah pihak keluarga.

Di dalam kamar kosannya yang sangat sederhana, hanya berukuran beberapa jenkal saja, hanya cukup untuk sholat dan belajar, ia mulai termenung bertanya-tanya. Buku-bukunya berserakan, beberapa dari tumpukan buku ini bahkan sudah ia dijual atau beberapa lagi ia akan diberikan ke adik-adik angkatannya. Dia sudah siap pindah, mungkin memulai langkah baru tapi tidak tahu hendak kemana, dan mau apa.

Pesan digawainya ini membuat ia berfikir sesuatu. Sepertinya kelulusan kuliahnya bukan hanya sebuah tanda berhentinya masa belajarnya, namun juga dimulainya masa baru dalam hidupnya. Tanda dari sebuah kedewasaan, mungkin. Tapi, sekali lagi, apakah kedewasaan (maturity) harus dinilai dari sebuah pernikahan? Tak pernah terbersit dibenaknya kalau ia akan dihadapkan akan pilihan ini.

Dia juga tidak tahu apa yang dipikirkan oleh keluarganya dan mulai bertanya-tanya siapa yang memprakarsai perjodohannya? Mungkinkah Ibu? Bapak? Atau bahkan Budhe Margono, sosok yang selalu meyakinkan Seto kalau dia sudah siap menikah setiap kali ia pulang kampung. Atau mungkin saja orang lain di keluarganya, katanya.

Didepan keluarganya dia tidak pernah serta-merta menolak. Hanya sekali, ketika ia hendak memutuskan untuk kuliah atas kemauannya tanpa campur tangan orang lain termasuk keluarga besarnya. Ia ingin Sastra, bukan Hukum ataupun Pendidikan. Keputusannya yang mungkin akan dibayar dikehidupan kedepannya kelak. Ia muak akan grorifikasi profesi Jaksa atau Guru di keluarganya. Ia ingin di Jogja bukan di Surabaya. Ia juga ingin tinggal ngekos, bukan di rumah saudara jauhnya. Itu terlihat jauh masuk akal baginya. Mungkin ia anak yang naïf atau hanya seorang pemuda yang belum berpengalaman dan berpandangan sempit dalam melihat masa depannya.

Selain itu, ia terbilang anak yang penurut. Pernah suatu hari saat SMA ia memutuskan pacarnya begitu saja karena tidak sesuai pendapat keluarganya. “Ojo pacaran karo sing ngalor ngulon!” (Jangan pacaran dengan perempuan dari barat laut). Kata Mbah Dok dan Mbah Kakungnya. Petuah basi yang menurut dia tidak masuk akal, namun ia tidak mau masalah ini berlarut-larut. Ia tidak mau jadi bahan omelan keluarga: sesuatu yang paling menyebalkan bagi dia.   

***

Hari mulai menua, dan dia seperti tidak mau ambil pusing lagi dengan kata-kata yang muncul dipikirannya sepanjang hari. Dia beranjak dari ranjangnya dan mulai berdiri menatap ke luar melalui jendela kosnya; mencari pandangan segar berharap ada mental picture yang menarik didepan matanya.

Dua hari yang lalu, tepat di jendela kecil itu, dia melihat segerombalan anak kecil di gang seberang kosannya. Enam atau tujuh anak, dia tak ingat dengan pasti berapa jumlahnya. Diantara mereka duduk bermain gawai dan yang lain bermain ranting: seolah-olah benta itu adalah sebuah senjata dari superhero favorit mereka. Sebelum akhirnya ranting itu mengenai pelipis anak perempuan yang melintas disebelahnya dan membuatnya menangis.

“Tangisan seorang perempuan” pikirnya. “Apa perempuan dewasa akan menangis jika mengetahui dan menyadari bahwa masa depannya sudah ditentukan seperti ini? Jika memang benar, apakah luka fisik sama sakitnya dengan paksaan ini? Atau mungkin calonnya ini bersedia dijodohkan begitu saja?” ia penasaran sekaligus tidak enak hati kepada calon yang ‘disediakan’ keluarganya untuknya. Ia sejenak mulai mengutuk keluarganya. Keluarga yang sangat kuat pengaruh di desanya; kadang membuat kepentingan keluarga-keluarga lain serasa tersisih. Ini bukan lagi jaman Siti Nurbaya atau Kekaisaran Eropa. Dia mulai berfikir akan struktur masyarakat di desa dianggapnya masih terlihat seperti ‘masyarakat feudal’; walaupun mungkin sekarang sudah tidak seperti dulu (entah, yang jelas dia sudah jarang pulang). Dibalik keramahan, keakraban, dan keasrian lingkungan masyarakat desanya, dia selalu melihat sesuatu yang lain. Namun, dia tidak menampik kalau masyarakat desa adalah masyarakat yang membuatnya seperti sekarang ini.  

Kepalanya dipenuhi banyak pertanyaan dan hanya satu orang yang bisa ia ingat dengan baik. Pria yang mungkin mampu memberikan satu jawaban pasti dari banyak pertanyaan di kepalanya. Mbah Kakung. Salah satu sosok terpenting dibenaknya saat ini.   

 ***

“Apa yang anak muda bisa pelajari dari seorang pria tua?” Tanyaku dengan pandangan sepi ke arah luar jendela. Melihat pemandangan kosong malam. Motor-motor lalu lalang di depan pandangan dari jendelaku ini, diselingi oleh lewatnya seorang pria tua bertopi hitam berjalan sepintas membawa kresek makan malam di tangan kanannya; tapi bukan pandangan itu yang aku cari. Aku ingin pandangan masa lalu itu kembali. Pandangan saat aku masih remaja dan menjadi salah satu orang penting dalam hidupku sendiri. 

Hari sudah malam tapi pikiranku dan hati nuraniku tidak bisa berhenti berbunyi. Aku ingat, saat masih remaja melihat suasana desa yang masih sangat menggembirakan hati. Disana tempatnya masa laluku; tempat aku tumbuh dan memberi pengalaman-pengalaman tak hilang untuk watu yang lama. Mengingat tentang desa, membuatku berasa nostalgia. Bukan hanya perasaan nostalgia seperti itu, melainkan nostalgia yang lebih rumit.

Di desa, pagi hari umumnya selalu ramai dan berembun (tergantung musim apa). Akan ada pemandangan rombongan laki-laki dan wanita berangkat bersepeda ontel bersama-sama ke sawah. Saat aku masih kecil, kadang aku bersepeda menyalip mereka atau berjalan kaki dilintasi oleh mereka. Pakaian panjang mereka kusam, berlumpur, terlihat jarang dicuci, mungkin hanya dijemur setelah usai dipakai; kebanyakan dari mereka memakai caping dan ada yang tidak. Ada juga yang lebih memilih memakai topi biasa, peninggalan kampanye pemilu beberapa tahun sebelumnya (terpampang jelas logo partai politik dan urutan angkanya; entah mereka memilih partai tersebut atau tidak, yang jelas benda itu terlihat sangat membantu bagi mereka, jauh setelah hiruk pikuk coblos-mencoblos itu usai).

Saat musim panen, jalan-jalan dipenuhi helaian jerami, Tak jarang melihatnya di tumpuk  dipinggiran sudut sawah; disini lah segerombolan anak mencari peruntungan jamur untuk lauk makan atau sekendar mencari kesenangan masa kecil belaka.

Comments